Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Kamis, 12 Januari 2017

Cerpen - Bisikan Bintang

Hallo...
Dibawah adalah salah satu dari cerpen yang berhasil aku selesain. Sebenarnya cerpen ini tuh tugas bindoku hehe. Lagi pengen post aja, makanya aku post. Bahasanya juga masih biasa, jalan ceritanya juga bisa ketebak banget. Ini nih cerpenku hehe...

Bisikan Bintang

Namanya Tegar, dan umurnya 29 tahun. Tidak seperti namanya, ia bukanlah orang yang tegar. Justru ia adalah orang yang mudah putus asa. Seseorang pernah menasehatinya. “Kegagalan tak akan membunuhmu Tegar, namun perasaan putus asa yang akan membunumu perlahan. Keputusasaan muncul disaat kau menolak untuk berharap, dan akibatnya kau akan stag di tempat yang sama untuk waktu yang lama.”
Nasihat itu mengalir di dalam kepalanya. Ia berusaha untuk tidak putus asa. Itulah yang coba Tegar lakukan 3 tahun terakhir.
Dipandangnya raja lautan yang membentangkan sayap birunya, juga ratu langit yang memberikan sinar kehidupan. Dikejauhan, sang kelapa mulai berdansa dengan mahkota burung camar di puncaknya. Tegar masih termenung, berpikir. Akankah hidupnya akan selalu seperti ini? Stagnan. Atau hidupnya akan berubah? Lantas, apa yang harus ia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantui Tegar selama 3 tahun terkahir. Tiba-tiba ingatan akan masa lalu menyergapnya. Menariknya ke dalam mimpi buruk. Ingatan itu sudah terlalu sering mengahampirinya dalam mimpi. Membuatnya terbangun di malam gelap. Membuatnya berteriak, memecah kesunyian malam. Membuatnya bermandikan peluh. Membuatnya tak dapat tidur lagi.           
            Ingatan itu melayang-layang dalam pikirannya, saling bertabrakan. Memunculkan berbagai emosi, kesedihan, kemarahan, penyesalan, keputusasaan. Emosi itu saling bertarung. Siapakah yang akan menang? Kesedihan? Kemarahan? Atau penyesalan? Dadanya mulai sesak, napasnya memburu, matanya memerah. Ternyata, kesedihanlah pemenangnya. Dicobanya membendung air mata itu. Namun, ia kalah. Bulir-bulir permata sukses mengalir dari pelupuk matanya. Tegar mulai menangis. Ia tak setegar namanya.
            Sebenarnya, untuk siapakah tangisan itu? Untuknya? Untuk penyesalannya? Atau umtuk “sang bintang”?


Tiga tahun lalu…
           
“Alen! Oper bolanya.” Tak lama kemudian, bola hitam-putih itu bergerak kearah Tegar, diterimanya bola itu.
            Tegar menggiring bola dengan lincah, melihat setiap celah kesempatan. Ia berhasil melewati pemain bertahan, hingga lawannya hanyalah sang penjaga gawang. Ditendangnya bola dengan cepat, dan kuat. Sang kiper tidak dapat membaca arah tembakan itu, dan “Goll,” sorak para pendukung Universitas Lorraine. Pertandinganpun berkahir dengan skor 3-1 atas kemenangan Lorrain.
“Tadi itu keren banget bro. Lo emang top deh,” puji Alen sambil menepuk bahu Tegar.
“Kamu memang hebat Tegar. Kamu adalah pemain terbaik Lorrain. Apa kamu tidak ada keinginan menjadi pemain sepak bola saja? Dengan bakatmu ini kamu akan mudah untuk bergabung di kesebelasan yang kamu inginkan. Kakimu itu seperti ular, Tegar,” pelatih Roland memuji Tegar, lagi.
“Sebenarnya pelatih, saya lebih tertarik menjadi pemain sepak bola dibanding pekerjaan yang sebentar lagi saya dapatkan. Namun, mau bagaimana lagi, orang tua tidak mengizinkan,” curhat Tegar ke pelatih sepak bola.
Itulah Tegar, selain berbakat di bidang olahraga khususnya sepak bola, ia juga pandai dalam hal pelajaran. Tegar merupakan salah satu mahasiswa terbaik di Lorrain.
Hari itu Tegar duduk dibangku taman. Menikmati semilir angin yang menyejukkan hatinya, juga sang langit yang membawa ketenangan. Malam itu, langit begitu indah dengan taburan para bintang. Matanya terpejam. Sepasang kaki berjalan mendekati dirinya. Tegar mengenali aroma itu.
“Tegar,” suara itu terucap lirih.
Tegar tersenyum, diputarnya tubuh itu menghadap sang bintang. Dilihatnya seorang wanita berumur 23 tahun. Rambutnya secoklat susu, matanya sebiru lautan, hidungnya bagaikan puncak Everest, bibirnya semerah darah. Wanita itu sungguh sempurnya untuknya.
Namanya Vega, bintang paling terang di rasi Lyra, bintang paling terang ke lima di langit malam, bintang paling terang ke dua di belahan langit utara. Namun bagi Tegar, Vega adalah bintang paling terang di hatinya.
“Duduklah disini Vega, nikmatilah ketenangan ini.”
Mata Tegar kembali terpejam, tangannya menepuk-nepuk bangku, menyuruh wanita itu duduk disampingnya.
“Baiklah Tegar.”
Wanita itu duduk disamping Tegar. Ia tahu betul Tegar tak ingin diganggu dalam ketenangannya. Sang bintangpun hanya terdiam, menunggu Tegar selesai.
Tegar membuka mata. Dipandangnya gadis yang telah mencuri hatinya. “Vega… apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya pada sang bintang.
“Tidak ada Tegar, aku hanya ingin duduk disini, bersamamu, menikmati hari ini.” Itulah jawaban sang bintang, ratu dihatinya. Tegar tersenyum mendengar jawaban itu.
“Akhir pekan kamu ada acara, Vega?”
“Ada, pergi bersamamu Tegar,” ucap Vega sambil tesenyum. Ditatapnya lelaki yang membawa kebahagiaan dalam hari-harinya.
“Benar sekali. Mari kita dinner,” kata Tegar. Matanya menerawang, memikirkan rencananya itu.
“Di mana Tegar?” Wanita itu penasaran.
“Itu rahasia, Vega. Makan malam itu akan menjadi makan malam paling romantis yang pernah kau rasakan,” ucap Tegar begitu yakin.
“Baiklah Tegar,” ucap Vega sambil tertawa melihat kekasihnya yang begitu yakin dengan ucapannya itu.
Hari mulai berganti, hingga hari itu pun tiba.  Di kamarnya, Vega masih mematung di depan lemarinya. Saat itu pukul enam malam, dan Tegar akan menjemputnya pukul tujuh. Kurang satu jam lagi, dan Vega masih tidak dapat menentukan pakaian yang akan dipakainya. Itulah kelemahan setiap wanita. Selalu kebingungan saat harus memilih pakaian yang cocok.
“Apa yang harus kupakai ya?” tanya Vega kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba tangannya terulur ke gaun berwarna kuning gading. Vega memutuskan untuk mengenakan gaun tersebut. Sepertinya, hari itu akan menjadi hari yang penting dalam hidupnya. Itulah yang Vega rasakan.
Tepat pukul tujuh, Tegar sampai di depan pintu apartemen Vega, diketuknya pintu itu. Tegar sudah siap dengan rencananya. Tegar akan melamar Vega malam itu. Dikenakannya tuksedo berwarna hitam, cocok untuknya. Tegar terlihat begitu tampan. Tiba-tiba pintu apartemen terbuka.  Vega benar-benar cantik dan menawan. Gaun kuning gading itu memang pas dan cocok dibadannya, belum lagi sepatu hak tinggi bertali hitam yang membuatnya terlihat anggun. Vega benar-benar bersinar malam itu.
“Wow,” hanya kata itu yang terucap dari bibir Tegar. Ia terpana akan kecantikan kekasihnya.
“Ayo Tegar, apa kamu akan melamun seperti itu terus,” ucap Vega sambil tersenyum geli.
Merekapun berjalan keluar apartemen. Menuju mobil hitam yang telah menunggu mereka. Mereka akan pergi menuju restaurant di dekat bukit. Dengan latar belakang bukit-bukit dan sungai, dengan taburan bintang, malam itu akan menjadi malam yang romantis, malam yang penuh kebahagiaan bagi mereka berdua. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Mereka tak pernah sampai ke restaurant itu. Meja yang dipesan tetap kosong hingga restaurant itu tutup.
Kemana mereka? Di suatu tempat tak jauh dari sana, suara ambulans terdengar. Kecelakaan antara mobil dan truk di jalan sempit itu tak dapat dihindari. Mobil hitam itu hancur. Penumpangnya telah dibawa kerumah sakit terdekat.
Di rumah sakit terbaringlah tubuh lemah Tegar. Sudah seminggu sejak malam mengerikan itu. Perlahan, mata Tegar terbuka. Dilihatnya ruangan serba putih. Ia berada dikamar rumah sakit.
“Syukurlah nak, akhirmya kau sadar juga,” ucap seorang wanita paruh baya itu, air matanya mengalir. Berulang kali terucap syukur dari bibir wanita itu.
“Apa yang terjadi?” ucap Tegar begitu lirih.
“Malam itu, mobil yang kau kendarai dan Vega bertabrakan dengan truk Tegar,” jelas wanita itu.
“Vega? Bagaimana keadaannya?”
Tegar mulai tersadar. Walau badannya masih lemah, ia berusaha bangun.
“Jangan nak, kau baru sadar, kau harus istirahat dulu,” wanita itu mencegahnya.
“Tidak ma, aku harus melihat Vega sekarang,” ucap Tegar berusaha turun dari tempat tidurnya.
Tapi ada yang aneh, ia tak dapat merasakan kakinya. Dibukanya selimut yang meutupi kakinya. Tegar tak percaya akan yang dilihatnya. Tak ada sepasang kaki di sana. Tegar berteriak, tak sanggup menerima kenyataan. Tegar masih terguncang, namun ia bertanya “dimana Vega?”
“Vega…Vega…” mamanya tak tega membuat hati anaknya makin terluka. Air mata wanita itu mengalir.
“Vega ada dimana ma?” kali ini Tegar berteriak ke mamanya.
“Vega ada di langit nak bersama dengan mereka, dia sudah tenang di sana,” ucap mamanya lirih.
Tegar meledak, berteriak, marah, menangis. Kenyataan yang harus diterimanya tidaklah mudah. Kini, wanita yang dicintainya sudah pergi. Tak ada lagi yang membuatnya tertawa, tak ada lagi senyum manisnya, tak dapat dilihatnya lagi wajah sang bintang.
Tiga tahun telah berlalu. Di sana terlihat seorang lelaki dengan kursi rodanya. Dipandangnya raja lautan yang membentangkan sayap birunya, juga ratu langit yang memberikan sinar kehidupan. Dikejauhan, sang kelapa mulai berdansa dengan mahkota burung camar di puncaknya. Kehidupannya hampa setelah “bintang” itu padam.
“Tegar,” suara itu memanggilnya, lebih seperti bisikan. Tegar tak menoleh. Suara itu hanya ada didalam imajinasinya saja.
“Tegar,” suara itu terdengar kembali. Suara yang selalu membuatnya tersenyum. Tegar menoleh. Dilihatnya sang bintang. Bintang itu tersenyum.
“Tegar, hiduplah,” kata itu keluar dari bibir sang bintang. Bintangpun melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal. Tegar tersenyum melihatnya. Melihat bintangnya untuk terakhir kalinnya.
Tegar tau betul, cahaya dalam dirinya telah padam sejak sang bintang padam. Namun, sang bintang menyuruhnya hidup. Dihapusnya air mata itu. Ditatapnya langit biru. Hidupnya masih panjang, ia tak boleh seperti ini. Ia harus melangkah, melangkah maju.


The End